FIKIH : Istri Tidak Boleh Mengizinkan Orang Lain Masuk Kedalam Rumah Kecuali Dengan Izin Suami
Kewajiban Istri Pada Suaminya (5)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ
الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ
وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا
بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ
يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ
Artinya : Telah
menceritakan kepada kami abu al-yaman, tealah mengabarkan kepada kami syu’aib,
telah menceritakan kepada kami abu az-zinad, dari al-aghraj, dari abu hurairah
r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, Tidak halal bagi seorang isteri untuk
berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak
boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia
menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah
pahalanya. (HR. Bukhori No. 1595 Juz 7 Halaman 30)
قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تصم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه ولا تأذن في
بيته وهو شاهد إلا بإذنه وما أنفقت من كسبه من غير أمره فإن نصف أجره له
Artinya : Rasulullah
saw bersabda : Seorang wanita tidak dibenarkan melaksanakan shaum padahal
suaminya hadir, kecuali atas izinnya. Perempuan juga tidak boleh mengizinkan
orang lain masuk ke rumah suaminya padahal dia masih ada kecuali atas izinnya.
Apa yang diinafkkan seorang wanita dari hasil usaha suami tanpa perintahnya,
maka setengah pahalanya adalah untuk suaminya. (HR. Muslim No. 1026 Juz 2 Halaman
711)
Rasulullah saw bersabda
:
فاتقوا
الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن
أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه
Artinya : Bertakwalah
kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya
kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan
kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka
tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak
permadani kalian. (HR. Muslim No. 1218 Juz 2 Halaman 886)
أخبرنا
الحسن بن سفيان قال : حدثنا العباس بن عبدالعظيم العنبري قال : حدثنا عبدالرزاق
قال : أخبرنا معمر عن همام بن منبه عن أبي هريرة قال : وقال رسول الله صلى الله
عليه و سلم ( لا تأذن المرأة في بيت زوجها وهو شاهد إلا بإذنه ) إسناده صحيح على
شرط مسلم
Artinya : Telah
mengabarkan kepada kami Al-Hasan bin sufyan, ia berkata, telah menceritakan
kepada kami Al-‘Abbas bin Abdul ‘Adzim Al-‘Anbari, ia berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, ia berkata, telah mengabarkan kepada
kami ma’mar, dari hammam bin manbah, dari abu Hurairah, ia berkata, dan
Rasulullah saw bersabda, (Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun
untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin
suaminya). (HR. Ibnu Hibban No. 4168 Juz 9 Halaman 476. Sanadnya shahih sesuai
syarat Muslim)
Larangan ini
menunjukkan keharaman. Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan
ulama dari madzhab kami. Maka hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang pun
-yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah kalian dan duduk di tempat
tinggal kalian, baik yang diberi izin itu pria asing, wanita, maupun salah satu
mahram si istri. Larangan tersebut mencakup semua itu. Inilah hukum
permasalahan di sisi ahli fikih, bahwa tidak halal bagi istri mengizinkan
seorang pria, wanita, mahramnya, ataupun yang lainnya, untuk masuk ke rumah
suaminya, kecuali orang yang ia yakini atau ia sangka bahwa suami tidak
membencinya. Sebab, hukum asalnya adalah keharaman masuk ke rumah seseorang
hingga ada izin darinya atau dari orang yang ia izinkan untuk memberi izin
(mewakilinya), atau telah diketahui bahwa ia ridha berdasarkan kebiasaan yang
berlaku, dan sebagainya. Jika keridhaannya diragukan dan tidak tampak mana yang
lebih kuat (ridha atau tidak), serta tidak ada sesuatu yang menunjukkan
ridhanya, seseorang tidak dihalalkan untuk masuk ataupun memberi izin orang
lain untuk masuk. Kondisi syarat ini tidak ada mafhumnya, namun disebutkan
karena faktor kebiasaan. Sebab keluarnya suami bukan berarti si isteri boleh
mengizinkan orang lain masuk ke dalam rumahnya. Bahkan larangannya lebih keras
lagi karena adanya hadits-hadits yang melarang masuk ke dalam rumah seorang
wanita yang sedang sendiri, yang seorang isteri yang suaminya sedang pergi ke
luar rumah. Mungkin juga ada mafhumnya, jika si suami ada di rumah maka mudah
meminta izin kepadanya. Dan jika si suami tidak ada di rumah andaikata ada
keperluan darurat untuk masuk ke dalam rumahnya maka tidaklah perlu meminta
izin karena adanya udzur. Kemudian semua itu berkaitan dengan masuk menemui si
isteri, adapun mutlak masuk ke dalam rumah misalnya si isteri mengizinkan
seseorang masuk ke salah satu tempat dalam rumah untuk keperluaan rumah itu
atau ke rumah yang terpisah dari rumah yang ditempatinya, maka dzahirnya masalah
ini disamakan dengan masalah yang pertama.
Refrensi :
وهذا النهى للتحريم صرح به أصحابنا
(Lihat Kitab Al-Minhaj Juz 7 Halaman 115)
فيه
اشارة إلى أنه لا يفتات على الزوج وغيره من مالكى البيوت وغيرها بالاذن في أملاكهم
الا باذنهم وهذا محمول على ما لا يعلم رضا الزوج ونحوه به فان علمت المرأة ونحوها
رضاه به جاز كما سبق في النفقة
(Lihat
Kitab Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Juz 7 Halaman 115)
قوله:
"ولا تأذن في بيته" زاد مسلم من طريق همام عن أبي هريرة "وهو شاهد
إلا بإذنه" وهذا القيد لا مفهوم له بل خرج مخرج الغالب، وإلا فغيبة الزوج لا
تقتضي الإباحة للمرأة أن تأذن لمن يدخل بيته، بل يتأكد حينئذ عليها المنع لثبوت
الأحاديث الواردة في النهي عن الدخول على المغيبات أي من غاب عنها زوجها، ويحتمل
أن يكون له مفهوم، وذلك أنه إذا حضر تيسر استئذانه وإذا غاب تعذر فلو دعت الضرورة
إلى الدخول عليها لم تفتقر إلى استئذانه لتعذره. ثم هذا كله فيما يتعلق بالدخول
عليها، أما مطلق دخول البيت بأن تأذن لشخص في دخول موضع من حقوق الدار التي هي
فيها أو إلى دار منفردة عن سكنها فالذي يظهر أنه ملتحق بالأول. وقال النووي: في
هذا الحديث إشارة إلى أنه لا يفتات على الزوج بالإذن في بيته إلا بإذنه، وهو محمول
على ما لا تعلم رضا الزوج به، أما لو علمت رضا الزوج بذلك فلا حرج عليها، كمن جرت
عادته بإدخال الضيفان موضعا معدا لهم سواء كان حاضرا أم غائبا فلا يفتقر إدخالهم
إلى إذن خاص لذلك، وحاصله أنه لا بد من اعتبار إذنه تفصيلا أو إجمالا. قوله:
"إلا بإذنه" أي الصريح، وهل يقوم ما يقترن به علامة رضاه مقام التصريح
بالرضا؟ فيه نظر.
(Lihat Kitab Fathul Bari Juz 9 Halaman 296)
Wallahu A’lam